Senin, 04 April 2016

Wae Rebo: Ketika Alam Bicara

Ibarat sebuah wajan, Kampung Wae Rebo merupakan suatu proses kehidupan yang ada dan terbentuk di daerah pedalaman yang dikelilingi oleh gunung-gunung dan hutan belukar. Wae Rebo diwariskan oleh kakek pertama bernama Maro; seperti pada penjelasan artikel sebelumnya "Mengenal Wae Rebo, Desa Wisata Flores".

Mengenal Upacara Adat Masyarakat Wae Rebo

Untuk kali ini, kembali asemolas mengulas tentang alam Wae Rebo berdasarkan hasil rangkuman dari beberapa sumber yang terpercaya. Mudah-mudahan hal ini dapat menambah wawasan kamu tentang kampung unik dan tradisional, Wae Rebo.

Kehidupan Harian Warga Wae Rebo
Sejak zaman dulu pada masa awal kehidupan sang pewaris Wae Rebo yaitu kakek Maro atau dalam bahasa daerah setempat disebut "Empo Maro"; beliau sudah terbiasa dengan hidup bertani sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejak masa itu hingga sampai saat sekarang ini, masyarakat Kampung Wae Rebo hidup dengan dan dari bertani atau bercocok tanam.

Dalam hal bercocok tanam, masyarakat Wae Rebo tentulah sudah sangat peka dengan semua perubahan dan tanda-tanda alam yang terjadi. Perubahan dan tanda-tanda alam ini seakan memberikan isyarat kepada mereka untuk mulai menanam padi, jagung, dan benih-benih lainnya yang tentunya cocok dengan jenis tanah dan sesuai dengan musim yang sedang terjadi. Perubahan dan tanda-tanda bak isyarat dari alam itu disusun dalam suatu hitungan dalam jangka waktu satu tahun.

Hitungan Bulan Zaman Dulu
Pastinya pada zaman dahulu belumlah ada yang namanya kalender penanggalan. Jadi, orang-orang pada zaman itu mempunyai cara sendiri untuk menghitung bulan dalam satu tahun. Cara ini mereka lakukan untuk bisa mengetahui perubahan dan musim tanam yang harus mereka lakukan dalam setahun.

Kakek Maro atau Empo Maro, pada masa hidupnya di zaman dulu, menghitung bulan dalam satu tahun menggunakan metode perubahan dan tanda-tanda alam yang dipadu dengan malam pertama saat bulan terbit. Hitungannya selama 28 hari dan ditutup dengan tiga (3) malam bulan genap atau bulan tidak terbit. Setelah bulan terbit, dimulailah hitungan bulan berikutnya dan kemudian dipadu dengan perubahan dan tanda-tanda alam saat itu.

Sedangkan, cara yang biasa dipakai oleh masyarakat Wae Rebo adalah mungkin tak serumit Empo Maro. Mereka tetap juga menggunakan tanda-tanda dan perubahan alam yang terjadi di sekitarnya dengan cara yang lebih mudah. Tanda-tanda dan perubahan alam yang digunakan oleh masyarakat yang hidup di Kampung Wae Rebo untuk menghitung bulan adalah dilihat dari bentuk-bentuk tanaman atau tumbuhan dan atau didengar dari bunyi-bunyian makhluk hidup yang ada di sekitar mereka.

Wisata Alam Wae Rebo Yang Menakjubkan

Hitungan Bulan Menurut Orang Wae Rebo
Karena mata pencariharian utama masyarakat Wae Rebo adalah bertani atau bercocok tanam, maka tidaklah heran jika dalam kehidupan sehari-harinya mereka memiliki cara perhitungan bulan tersendiri. Berikut urutan hitungan bulan dalam setahun menurut orang Wae Rebo:
  1. Bulan Beko (terjadi pada bulan November yang merupakan awal tahun baru)
    Kata "beko" diambil dari nama satu jenis tumbuhan hanya tumbuh hanya sesaat selama satu bulan penuh dan setelah itu tumbuhan tersebut akan mati. Jenis tanaman ini hidup dan tumbuh di daerah pesisir pantai. Pada bulan Beko, terjadi peralihan musim yaitu dari musim kemarau ke musin penghujan. Biasanya, pada puncak musim kemarau awal bulan Beko, daun-daun tumbuhan beko tersebut akan menjadi layu. Dan masyarakat Wae Rebo menamainya "melong beko". Pada saat ini masyarakat Wae Rebo akan membakar lahan pertanian yang sudah mereka bersihkan (tebas) sebelumnya.

    Tanda-tanda dan perubahan alam lainnya yang terjadi pada bulan Beko adalah bunyi-bunyian burung yang diartikan sebagai pemberi isyarat kepada masyarakat Wae Rebo untuk mulai menanam. Pada bulan Beko ini ditandai dengan dimulai turunnya curah hujan pertama setelah melewati musim kemarau panjang. Oleh masyarakat Wae Rebo, hujan yang terjadi pada bulan Beko disebut "uhang sekeng".  "Uhang sekeng" merupakan ungkapan dalam bahasa daerah Manggarai dimana "uhang" artinya hujan sedangkan "sekeng" artinya musim yang pasti untuk menanam segala jenis tumbuhan.

    Biasanya, sebelum mulai menanam, masyarakat daerah setempat akan melaksanakan "pesta Penti" atau tahun baru.  Pesta Penti ini merupakan gambaran ungkapan syukur untuk segala keberhasilan yang diperoleh selama satu tahun dan untuk mempersiapkan diri memulai kehidupan baru pada tahun yang baru. Tahun baru Wae Rebo terjadi pada bulan Beko atau bulan November.

    Menanam merupakan tanda awal dimulainya suatu kehidupan baru. Ketika tanaman mulai tumbuh maka itu adalah tanda awal sebuah kehidupan baru sehingga diberi nama tahun baru.
    Penti adalah acara "wuat wini" (mempersiapkan benih untuk ditanam), selain sebagai acara syukuran untuk mengakhiri tahun lama dan menyambut tahun baru yang penuh berkah.  Biasanya yang terjadi pada hari pertama setelah acara penti, masyarakat akan secara serempak berangkat ke kebun atau ladang untuk mulai menanam benih-benih yang telah disiapkan; misalnya: padi, jagung, atau tanaman lainnya.
  2. Bulan Reka (Desember)
    "Reka" diambil dari nama jenis tumbuhan yang hidup dan tumbuh saat mulai terbitnya bulan. Pada saat itu aktivitas masyarakat masih fokus pada kegiatan menanam benih-benih. Curah hujan akan semakin deras sehingga menyebabkan benih-benih yang telah ditanam akan tumbuh dengan subur. 
  3. Bulan Ohet (Januari)
    Ohet merupakan nama tanaman yang memiliki bentuk seperti tali yang pada bulan itu akan berbunga kemudian berbuah. Tumbuhan tali ini oleh masyarakat setempat diberi nama "wahe ohet" dimana "wahe" (berasal dari bahasa daerah Manggarai) artinya tali.
  4. Bulan Nderu (Februari)  
  5. "Nderu" berarti jeruk. Pada bulan ini, tanaman jeruk mulai berbunga. Tanda alam lain pada bulan itu adalah angin bertiup sangat kencang.
  6. Bulan Lenta (Maret)
    "Lenta"
    diambil dari nama sebuah pohon yaitu lento. Pohon lento ini berbuah pada bulan Maret. Karena itu, orang Wae Rebo memberi nama sesuai pohon yang berbuah pada bulan tersebut. Buah pohon lento bisa dibuat sayur, orang sering menyebutnya sayur lento. Mungkin kamu pernah juga mencicipi sayur lento ini. 
    Jelajah Wae Rebo Dan Kehidupan Generasi Penerus Wae Rebo

  7. Bulan Lideng (April)
    Masyarakat biasanya mulai panen atau petik hasil jagung pada bulan Lideng (April) ini. Hasil panen pun akan dihidangkan oleh masyarakat di tiap-tiap rumah jika kita sedang berkunjung. Bulan Lideng (April) ini merupakan bulan yang penuh kegembiraan.
  8. Bulan Rampeng (Mei)
  9. Bulan Rampeng selalu identik dengan bulan upacara adat. Biasanya pada bulan Rampeng ini terjadi perubahan cuaca di Wae Rebo. Perubahan cuaca atau iklim ini sejalan dengan perubahan arah angin, yakni dari musim barat berubah menjadi musim timur. Satu hal yang ditakutkan dimana pada saat perubahan iklim maka biasanya selalu membawa penyakit. Untuk mengantisipasi hal ini, masyarakat Wae Rebo akan melaksanakan ritual atau upacara adat yang disebut "Kasawiang" dan upacara adat ini biasanya dilaksanakan di "compang" (altar tengah kampung) dan di "mbaru tembong" (rumah gendang).
  10. Bulan Huhung (Juni)
  11. "Huhung" merupakan suatu situasi atau kondisi alam yang kurang baik. Biasanya akan terjadi hujan yang sangat deras dan lebat disertai kabut gelap. Dan peristiwa ini berlangsung sampai berminggu-minggu.
  12. Bulan Lalak (Juli)
  13. Pada bulan ini, masyarakat akan sibuk dengan upacara adat. Misalnya: upacara pernikahan, upacara kenduri.
  14. Bulan Rangkang Kalo (Agustus)
  15. "Kalo" adalah pohon dadap. Sedangkan "rangkang" berarti mekar. Jadi "rangkang kalo" artinya pohon dadap yang mulai mekar dengan bunga yang berwarna merah. Aktivitas masyarakat setempat pada bulan ini adalah membersihkan kebun.
  16. Bulan Rasi (September)
  17. "Rasi" adalah pohon pinang. Biasanya pada bulan September, pohon pinang akan mulai berbunga. Sehingga orang Wae Rebo menamai bulan ini dengan bulan Rasi.
  18. Bulan Waek (Oktober)
  19. "Waek" adalah nama sebuah pohon yang daunnya mirip dengan daun akasia. Waek digunakan sebagai pelindung pohon kopi. Waek oleh masyarakat Wae Rebo lebih sering digunakan sebagai pohon pelindung. Pada musim kemarau daun pohon ini akan berguguran sedang pada musim hujan daunnya akan rimbun kembali. Pada bulan Waek, masyarakat Wae Rebo kan melaksanakan upacara adat "Kasawiang" kedua karena pada bulan akan terjadi perubahan arah angin dari timur ke barat. Pelaksanaan upacara adatnya dilakukan sama seperti pada bulan Rampeng (Mei).

Tour Wae Rebo Dan Upacara Adat Masyarakat Wae Rebo

bersambung..

Related Posts

Wae Rebo: Ketika Alam Bicara
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Ingin berlangganan artikel Ase Molas? Silahkan daftarkan email Anda di bawah ini: