Saat dulu saya angkat kaki dari Lembor dan menjadi 'anak perantau", begitu banyak hal yang saya dengar dan baca tentang perkembangan tanah kelahiran, Lembor. Yah, sebut saja hal-hal yang bersifat umum dulu; semisal pemekaran wilayah Kabupaten, pemekaran wilayah kecamatan. Atau hal lain yang terkadang membuat saya penasaran dan ada kerinduan pulang untuk menengok barang sejenak dan menikmati semua perubahan itu.
Mungkinkah seperti cerita yang sering disampaikan mama dan adik-adik saat telpon? Atau? Akh, susah untuk menebak. Dan rasanya enggan untuk menebak. Besar harapan saya, mudah-mudahan bisa lebih dari cerita mama. Itu hal yang hadir di benak saat rasa rindu pulang kembali mengusik.
Mengapa Baru Pulang Kampung?
Lama memendam rindu untuk kembali seperti dulu; berkumpul bersama orang tua dan adik-adik. Rindu akan suasana rumah yang entah berapa ditinggalkan. Rindu jalan santai pagi-pagi bersama mama untuk melihat keadaan padi di sawah yang mungkin sudah mulai menguning. Aduh, saya sudah terlampau banyak berkhayal.
Setiap orang yang merantau pasti selalu punya alasan sendiri ketika ditanya: "Kenapa baru pulang kampung?". Ada yang jawab karena alasan pekerjaan; dimana belum dapat jatah cuti dari kantor. Ada juga yang bilang: belum libur kampus e (bagi yang masih kuliah). Atau, masih nabung dulu karena tir mungkin saya pulang dengan tangan kosong; malu e..hehehe.. Untuk jawaban saya, jawabannya biar simpan di hati saja.
Sambil menunggu jawaban atasan, apakah dibolehkan untuk pulang, banyak pikiran yang berkecambuk dalam benak.
Bagaimana pantai Mberenang sekarang e? Mama dorang bilang kalau sudah banyak yang berubah. Banyak orang jualan dan tiap hari minggu ramai karena banyak yang ke sana. Terus jembatan Wae Ara sudah perbaik kah? Pasti sudah e karena banyak orang yang pergi jalan-jalan ke pantai kalau hari minggu. Mantap dan ramai sudah Lembor kalau begitu e.
Dan akhirnya dapat ijin juga. Terimakasih Tuhan, itu ucapan syukur yang utama dan pertama saat itu. Yah, keinginan dan kerinduan akan kampung halaman terobati juga. Tak apa meski sebentar yang penting pulang dulu.
Hari yang dijadwalkan pun tiba. Saya pulang ke Manggarai Barat dulu. Pulang libur ke Lembor dulu. Sepanjang perjalanan rasanya bahagia sekali. Kerinduan akan Lembor umumnya dan rumah khususnya makin kuat mengerogoti hati. Maunya cepat tiba di rumah.
Tapi betapa sedih dan kecewanya saya ketika tak semua yang disampaikan, dibaca, dan didengar sesuai dengan realita sebenarnya. Yah, saya berani katakan seperti ini karena seperti inilah kenyataannya. Di bagian ini secara khusus saya bercerita tentang "Jembatan Wae Ara".
Tentang Jembatan Wae Ara
Jembatan Wae Ara, terletak di Desa Nangalili, Kecamatan Lembor Selatan. Jembatan ini merupakan penghubung antar dua kecamatan; Kecamatan Lembor dan Kecamatan Lembor Selatan. Jembatan ini merupakan jalur transportasi darat yang menghubungkan dua kecamatan yang saya sampaikan sebelumnya.
Berdasarkan informasi yang saya ketahui, jembatan ini dibangun pada tahun 1970. Sudah 45 tahun. Sudah lama dan jika diandaikan pada umur manusia boleh dibilang sudah hampir separoh usia. Butuh direnovasi seharusnya. Biar tetap kokoh dan awet.
Dulu, jembatan ini dibangun saat Lembor belum se-ramai sekarang. Pada waktu Lembor belum ada pemekaran wilayah kecamatan: Lembor dan Lembor Selatan. Kala Lembor masih jadi bagian dari wilayah Kabupaten Manggarai. Atau mungkin, ketika Lembor masih dikelilingi hutan belukar. Namun, satu yang pasti, saat Lembor masih setia ditemani Kaka Botek (sejenis bangsa ular yang sangat berbisa dan mematikan).
Mungkin bisa saya lukiskan seperti itu. Kesannya, mungkinvterlalu berlebihan saya lukiskan keadaan ini Tapi perlu dan mungkin harus diakui oleh masyarakat Lembor pada umumnya (saya termasuk di dalamnya) bahwa ini merupakan fakta yang terpampang di depan mata.
Keadaan Jembatan Wae Ara saat saya tinggalkan Lembor (saat itu Kecamatan Lembor masih belum ada pemekaran), boleh dikatakan lumayan baik. Meski terkadang ada perasaan takut saat melaluinya. Mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan "takut', tapi ini beralasan karena ada pengalaman buruk saat melewati jembatan ini.
Jembatan Wae Ara Dan Pengalaman Buruk
Hari itu, kami sekeluarga pakai otto (otto adalah sebutan orang Manggarai) dari Malawatar ke Nangalili untuk ikut acara keluarga. Ketika tiba di tengah jembatan Wae Ara, tiba-tiba otto yang kami tumpangi mogok (tidak bisa jalan) karena satu ban-nya tergelincir di antara besi jembatan. Soalnya jembatan ini terbuat dari besi tapi di atas besi hanya ditaruh dengan kayu kusen yang terkadang bila tidak hati-hati akan terperosok dan jatuh. Sangat berbahaya.
Saat itu kami hampir celaka. Otto yang kami tumpangi hampir terbalik. Kami yang ada di dalamnya pun semua terjatuh ke lantai otto. Namun berkat usaha dan bantuan orang-orang yang lewat di jembatan saat itu, akhirnya semua baik-baik saja.
Pengalaman itu yang membuat saya dulu terkadang takut jika harus melalui jembatan itu lagi. Apalagi jaraknya lumayan panjang. Arus air di bawah jembatan pun lumayan deras. Tapi itu cerita beberapa tahun silam sebelum Lembor se-ramai sekarang. Karena saya yakin pasti keadaan jembatan Wae Ara sudah bagus dan baik.
Ternyata, Tidak Seperti Cerita
Selama berlibur, ada niat untuk melihat indahnya pantai Mbrenang. Akhirnya niat untuk menyusuri dan menikmati angin pantai terwujud saat seseorang mengajak saya untuk melihat pantai Mbrenang. Pikir saya satu; Jembatan Wae Ara. Mudah-mudahan sudah baik.
Dan...pikiran tenang itu pun hilang lenyap berganti takut dan ingin balik kembali ke rumah saat menyaksikan keadaan Jembatan Wae Ara yang sangat buruk, memprihatikan, dan menakutkan. Yah, karena lebih buruk dari situasi saat otto kami terjebak di tengah jembatan dulu. Pemandangan yang sangat menyedihkan dan mencemaskan.
Otto dan motor harus antri menunggu giliran lewati jembatan karena balok kusen yang menjadi titian pada jembatan sudah sebagian besar tidak ada, yang tertinggal hanya besi tua yang mulai berkarat dan licik oleh gesekan ban-ban kendaraan yang setiap saat melalui jembatan itu. Maklum daerah Nangalili merupakan daerah pemasok ikan laut untuk masyarakat Lembor.
Saya masih ingat jelas kata-kata penguatan dari om dan kakak-kakak yang mengatur kendaraan yang melalui jembatan itu: "Enu, tenang saja e tir akan jatuh. Yang penting hati-hati dan jangan takut. Kami jaga di sini enu". Buat saya, bahasa mereka merupakan bentuk penguatan untuk bisa menerima keadaan dan kenyataan.
Secerca Harap Dari Kami
Satu hal yang saya pikirkan saat itu hingga kini. Dimana mata seluruh masyarakat Lembor khususnya dan Manggarai barat pada umumnya? Atau haruskah ada dulu korban yang jatuh baru kita terjaga dan terbangun untuk menengok ke sana? Kapan Jembatan Wae Ara bisa dipercantik dan memiliki wajah baru?
Mungkin hal ini dianggap sepele, tapi sangat fatal jika diabaikan terus. Saya mengangkat hal ini bukan sebagai bahan kritik akan tidak meratanya pembangunan. Namun, hanya sebagai ungkapan kekecewaan untuk rasa ketidakpekaan kita sebagai masyarakat Lembor.
Padahal jika kita menoleh sejenak ke belakang, banyak putra putri Lembor yang ada di masa pemerintahan yang sedang berjalan. Apa mereka belum bertandang ke jembatan Wae Ara? Atau, mungkin mereka sudah lupa dengan Lembor?
Mungkin ini merupakan bahan refleksi kita bersama. Karena bagi saya pribadi, ketika Jembatan Wae Ara berubah wajah "dari si buruk rupa (saat ini) menjadi si cantik jelita" maka secara otomatis dua pantai kebanggaan masyarakat Lembor akan ramai dikunjungi. Pantai Mbrenang dan Pantai Nangalili. Ikon kebanggaan masyarakat Lembor. Muluk tapi mudah-mudahan bisa seperti halnya pantai-pantai di Labuan Bajo sana.
Besar harapan saya bahwa keprihatinan yang dituangkan dalam tulisan ini dapat menjadi keprihatinan kita bersama sebagai bagian dari masyarakat Lembor.
Mungkinkah seperti cerita yang sering disampaikan mama dan adik-adik saat telpon? Atau? Akh, susah untuk menebak. Dan rasanya enggan untuk menebak. Besar harapan saya, mudah-mudahan bisa lebih dari cerita mama. Itu hal yang hadir di benak saat rasa rindu pulang kembali mengusik.
Mengapa Baru Pulang Kampung?
Lama memendam rindu untuk kembali seperti dulu; berkumpul bersama orang tua dan adik-adik. Rindu akan suasana rumah yang entah berapa ditinggalkan. Rindu jalan santai pagi-pagi bersama mama untuk melihat keadaan padi di sawah yang mungkin sudah mulai menguning. Aduh, saya sudah terlampau banyak berkhayal.
Setiap orang yang merantau pasti selalu punya alasan sendiri ketika ditanya: "Kenapa baru pulang kampung?". Ada yang jawab karena alasan pekerjaan; dimana belum dapat jatah cuti dari kantor. Ada juga yang bilang: belum libur kampus e (bagi yang masih kuliah). Atau, masih nabung dulu karena tir mungkin saya pulang dengan tangan kosong; malu e..hehehe.. Untuk jawaban saya, jawabannya biar simpan di hati saja.
Sambil menunggu jawaban atasan, apakah dibolehkan untuk pulang, banyak pikiran yang berkecambuk dalam benak.
Bagaimana pantai Mberenang sekarang e? Mama dorang bilang kalau sudah banyak yang berubah. Banyak orang jualan dan tiap hari minggu ramai karena banyak yang ke sana. Terus jembatan Wae Ara sudah perbaik kah? Pasti sudah e karena banyak orang yang pergi jalan-jalan ke pantai kalau hari minggu. Mantap dan ramai sudah Lembor kalau begitu e.
Dan akhirnya dapat ijin juga. Terimakasih Tuhan, itu ucapan syukur yang utama dan pertama saat itu. Yah, keinginan dan kerinduan akan kampung halaman terobati juga. Tak apa meski sebentar yang penting pulang dulu.
Hari yang dijadwalkan pun tiba. Saya pulang ke Manggarai Barat dulu. Pulang libur ke Lembor dulu. Sepanjang perjalanan rasanya bahagia sekali. Kerinduan akan Lembor umumnya dan rumah khususnya makin kuat mengerogoti hati. Maunya cepat tiba di rumah.
Tapi betapa sedih dan kecewanya saya ketika tak semua yang disampaikan, dibaca, dan didengar sesuai dengan realita sebenarnya. Yah, saya berani katakan seperti ini karena seperti inilah kenyataannya. Di bagian ini secara khusus saya bercerita tentang "Jembatan Wae Ara".
Tentang Jembatan Wae Ara
Jembatan Wae Ara, terletak di Desa Nangalili, Kecamatan Lembor Selatan. Jembatan ini merupakan penghubung antar dua kecamatan; Kecamatan Lembor dan Kecamatan Lembor Selatan. Jembatan ini merupakan jalur transportasi darat yang menghubungkan dua kecamatan yang saya sampaikan sebelumnya.
Berdasarkan informasi yang saya ketahui, jembatan ini dibangun pada tahun 1970. Sudah 45 tahun. Sudah lama dan jika diandaikan pada umur manusia boleh dibilang sudah hampir separoh usia. Butuh direnovasi seharusnya. Biar tetap kokoh dan awet.
Dulu, jembatan ini dibangun saat Lembor belum se-ramai sekarang. Pada waktu Lembor belum ada pemekaran wilayah kecamatan: Lembor dan Lembor Selatan. Kala Lembor masih jadi bagian dari wilayah Kabupaten Manggarai. Atau mungkin, ketika Lembor masih dikelilingi hutan belukar. Namun, satu yang pasti, saat Lembor masih setia ditemani Kaka Botek (sejenis bangsa ular yang sangat berbisa dan mematikan).
Mungkin bisa saya lukiskan seperti itu. Kesannya, mungkinvterlalu berlebihan saya lukiskan keadaan ini Tapi perlu dan mungkin harus diakui oleh masyarakat Lembor pada umumnya (saya termasuk di dalamnya) bahwa ini merupakan fakta yang terpampang di depan mata.
Keadaan Jembatan Wae Ara saat saya tinggalkan Lembor (saat itu Kecamatan Lembor masih belum ada pemekaran), boleh dikatakan lumayan baik. Meski terkadang ada perasaan takut saat melaluinya. Mungkin terlalu berlebihan jika dikatakan "takut', tapi ini beralasan karena ada pengalaman buruk saat melewati jembatan ini.
Jembatan Wae Ara Dan Pengalaman Buruk
Hari itu, kami sekeluarga pakai otto (otto adalah sebutan orang Manggarai) dari Malawatar ke Nangalili untuk ikut acara keluarga. Ketika tiba di tengah jembatan Wae Ara, tiba-tiba otto yang kami tumpangi mogok (tidak bisa jalan) karena satu ban-nya tergelincir di antara besi jembatan. Soalnya jembatan ini terbuat dari besi tapi di atas besi hanya ditaruh dengan kayu kusen yang terkadang bila tidak hati-hati akan terperosok dan jatuh. Sangat berbahaya.
Saat itu kami hampir celaka. Otto yang kami tumpangi hampir terbalik. Kami yang ada di dalamnya pun semua terjatuh ke lantai otto. Namun berkat usaha dan bantuan orang-orang yang lewat di jembatan saat itu, akhirnya semua baik-baik saja.
Pengalaman itu yang membuat saya dulu terkadang takut jika harus melalui jembatan itu lagi. Apalagi jaraknya lumayan panjang. Arus air di bawah jembatan pun lumayan deras. Tapi itu cerita beberapa tahun silam sebelum Lembor se-ramai sekarang. Karena saya yakin pasti keadaan jembatan Wae Ara sudah bagus dan baik.
Ternyata, Tidak Seperti Cerita
Selama berlibur, ada niat untuk melihat indahnya pantai Mbrenang. Akhirnya niat untuk menyusuri dan menikmati angin pantai terwujud saat seseorang mengajak saya untuk melihat pantai Mbrenang. Pikir saya satu; Jembatan Wae Ara. Mudah-mudahan sudah baik.
Dan...pikiran tenang itu pun hilang lenyap berganti takut dan ingin balik kembali ke rumah saat menyaksikan keadaan Jembatan Wae Ara yang sangat buruk, memprihatikan, dan menakutkan. Yah, karena lebih buruk dari situasi saat otto kami terjebak di tengah jembatan dulu. Pemandangan yang sangat menyedihkan dan mencemaskan.
Otto dan motor harus antri menunggu giliran lewati jembatan karena balok kusen yang menjadi titian pada jembatan sudah sebagian besar tidak ada, yang tertinggal hanya besi tua yang mulai berkarat dan licik oleh gesekan ban-ban kendaraan yang setiap saat melalui jembatan itu. Maklum daerah Nangalili merupakan daerah pemasok ikan laut untuk masyarakat Lembor.
Saya masih ingat jelas kata-kata penguatan dari om dan kakak-kakak yang mengatur kendaraan yang melalui jembatan itu: "Enu, tenang saja e tir akan jatuh. Yang penting hati-hati dan jangan takut. Kami jaga di sini enu". Buat saya, bahasa mereka merupakan bentuk penguatan untuk bisa menerima keadaan dan kenyataan.
Secerca Harap Dari Kami
Satu hal yang saya pikirkan saat itu hingga kini. Dimana mata seluruh masyarakat Lembor khususnya dan Manggarai barat pada umumnya? Atau haruskah ada dulu korban yang jatuh baru kita terjaga dan terbangun untuk menengok ke sana? Kapan Jembatan Wae Ara bisa dipercantik dan memiliki wajah baru?
Mungkin hal ini dianggap sepele, tapi sangat fatal jika diabaikan terus. Saya mengangkat hal ini bukan sebagai bahan kritik akan tidak meratanya pembangunan. Namun, hanya sebagai ungkapan kekecewaan untuk rasa ketidakpekaan kita sebagai masyarakat Lembor.
Padahal jika kita menoleh sejenak ke belakang, banyak putra putri Lembor yang ada di masa pemerintahan yang sedang berjalan. Apa mereka belum bertandang ke jembatan Wae Ara? Atau, mungkin mereka sudah lupa dengan Lembor?
Mungkin ini merupakan bahan refleksi kita bersama. Karena bagi saya pribadi, ketika Jembatan Wae Ara berubah wajah "dari si buruk rupa (saat ini) menjadi si cantik jelita" maka secara otomatis dua pantai kebanggaan masyarakat Lembor akan ramai dikunjungi. Pantai Mbrenang dan Pantai Nangalili. Ikon kebanggaan masyarakat Lembor. Muluk tapi mudah-mudahan bisa seperti halnya pantai-pantai di Labuan Bajo sana.
Besar harapan saya bahwa keprihatinan yang dituangkan dalam tulisan ini dapat menjadi keprihatinan kita bersama sebagai bagian dari masyarakat Lembor.
Jembatan Wae Ara : Yang Terabaikan
4/
5
Oleh
Molas